€. Manajemen Berbasis Islam


“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat : Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi. Mereka berkata: Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau ? Tuhan berfirman: Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”. (al-Baqarah 30)

Banyak orang menyangka bahwa manajemen itu tidak ada kaitannya dengan ajaran Islam dan Qur’an, padahal prinsip-prinsip ilmu manajemen terungkap dengan gambling di dalam Qur’an.

Hal itu karena Qur’an merupakan bimbingan dan petunjuk bagi segenap manusia di dunia, bukan hanya bagi kaum muslimin saja.

Bahkan Hadist Rasulullah saw dinyatakan bahwa setiap muslim adalah pemimpin dan dimintai pertanggung jawaban terhadap kepemimpinan masing-masing. Dalam hadist ini tersirat pengertian bahwa manusia perlu mengembangkan kemampuan menejemen mereka sebagai bagian dari sistem kepemimpinan.

Di dalam konsep kekhalifahan sebagaimana tertera pada Qur’an seperti dikutip di atas, terkandung pula unsur manajemen. Sebab sebagai seorang khalifah, manusia mengemban tugas untuk memakmurkan bumi Allah. Dalam menjalankan tugasnya itu dengan baik, maka perlu atau membutuhkan kemampuan mengelola. Atau dengan kata lain butuh akan teori dan praktek manajemen.

Oleh karena itu di negeri jiran Malaysia, pernah diselenggarakan seminar tentang ‘Dasar-Dasar Menejemen dan Administrasi yang bersumber dari ajaran Islam.

Islam dan Manajemen

Islam merupakan system (berbagai dimensi) yang amat sempurna. Hal ini ditegaskan Allah swt di dalam ayat-ayat Qur’an antara lain surat al-Maidah ayat 3 dan surat al-An’am ayat 38.

Setiap muslim yang yakin akan kesempurnaan Kitab Sucinya, perlu mempelajari nilai-nilai kemanusiaan yang secara lengkap dipaparkan oleh kitab itu.

Allah memberikan kepada ‘ijtihad’ manusia untuk menemukan nilai-nilai yang berkaitan dengan kehidupan selama di dunia ini. Setiap orang (muslim atau non muslim) mampu menggali nilai Qur’ani serta menyusun berbagai cara dan apabila mereka berurusan antara sesamanya di muka bumi ini. Atau dengan perkataan lain, bahwa dengan kemampuan menggali nilai-nilai yang terkandung dalam Qur’an, manusia akan dapat menemukan manajemen yang Islami.

Sebagaimana kita ketahui, bahwa inti ajaran Islam adalah Tauhid. Manusia yang menganut faham Tauhid akan mampu melakukan apa saja sebatas apa yang diizinkan Allah, terutama untuk mempertahankan dan meningkatkan harga dirinya sendiri.

Fenomena tingkah laku itu dapat dimanfaatkan oleh seorang manager (bahkan pemimpin) untuk menggairahkan dan memotivasi bawahannya dalam meningkatkan prestasi kerja. Seorang manajer dan pemimpin yang arif, sudah pasti akan memberikan penghargaan yang wajar kepada setiap karyawan yang telah meraih pretasi yang lebih. Penghargaan itu bukanlah semata sebagai insentif/rangsangan kerja, namun lebih dalam maknanya. Pemberian dan penghargaan itu disampaikan juga untuk menegakkan asas kekeluargaan antara atasan-bawahan (ukhuwwah islamiyyah).

Hal itu sesuai pula dengan apa yang pernah disabdakan oleh Nabi saw., agar para sahabat memberikan pakaian dan makanan para sahaya mereka sama dengan pakaian dan makanan mereka sendiri.

Sesuai dengan menejemen yang dianut oleh masyarakat di Negara-negara maju, sebelum memutuskan suatu kebijakan, maka sang manajer memerlukan dialog terlebih dahulu dengan berbagai elemen di Perusahaanya. Demikian pula Islam (sebagai agama yang sesuai dengan jaman kemajuan), menekankan seperti itu.

Di dalam Qur’an (QS, 2:30) digambarkan sebelum Allah swt. menciptakan manusia. Dia memerlukan untuk ‘berdialog’ terlebih dahulu dengan ‘bawahan-Nya’. Padahal Allah adalah sebagai pemilik muthlak alam semesta. Kemudian Allah mendengarkan alasan logis dari para malaikat, ketika ia akan berbuat atau melakukan perbuatan. Dengan gambling dijelaskan sekaligus ‘mematahkan’ argumentasi malaikat, bahwa Ia lebih berilmu dari pada malaikat. Ternyata pernyataan Allah itu benar. Berita itu sangat berharga dan dapat dijadikan landasan bagi seorang manajer mukmin. Bahwa dalam membuat kebijakan atau merencanakan sesuatu sebelum mengambil suatu keputusan, hendaklah dirembukkan terlebih dahulu kepada bawahan dan orang-orang yang bersangkutan dalam sebuah pekerjaan. Tidak bertindak secara otoriter dan semaunya sendiri.

Sebab, setiap manusia itu memiliki rasa kemuliaan dan harga diri, sebagai suatu potensi anugrah ilahi. Rasa harga diri dan kemuliaan itulah yang harus dipegang oleh setiap manajer, bila ia akan berhasil dalam usahanya.

Dengan berbincang-bincang terlebih dahulu sebelum mengambil keputusan, maka akan terasa dan tumbuh rasa dilibatkan dalam kepemimpinan, yang selanjutnya akan menumbuhkan sama-sama memiliki (sense of belonging) di dalam dada setiap bawahan. Rasa ini kemudian akan menumbuhkan pula ‘rasa tanggung jawab’(sense of responsibility) yang amat penting dalam manajemen yang berhasil.

Pada (QS, 37:102), Allah menceritakan kepemimpinan Ibrahim a.s. ketika Allah memerintahkan (melalui beberapa kali mimpi) kepada Nabi Ibrahim untuk menyembelih putranya Ismail, maka Ibrahim tidak serta merta melakukannya. Beliau terlebih dahulu menyempatkan diri untuk berdialog dengan putra kesayangannya.

“Wahai anakku, aku telah melihat dalam mimpiku bahwa aku harus menyembelihmu, maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu! (Ismail) menjawab:’Wahai Ayahanda, lakukanlah perintah Allah niscaya ayah akan dapati ananda sebagai orang yang sabar’”.

Demikian dialog singkat antara seorang bapak dan putranya, yang keduanya adalah nabi.
Ibrahim as. memerlukan dialog, walaupun perintah itu datangnya dari Allah Sang Penguasa Alam Semesta, dan Ismail merupakan anak kandungnya sendiri. Dari peristiwa yang amat berharga itu dapat diambil suatu pelajaran yang berkenaan dengan manajemen.

Cara seperti yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim itu, dalam ilmu manajemen moderen selalu digunakan, sebab sangat menentukan keberhasilan dalam suatu kepemimpinan. Dengan sikap demikian, bawahan akan merasa diikut-sertakan dalam proses sebuah keputusan dan kebijakan atasan atau pemimpinnya. Bawahan akan turut bertanggung jawab dalam melaksanakan setiap tugas, sehingga komitmen mereka bertambah tinggi.

Dalam buku-buku yang ditulis oleh para sarjana manajemen Barat dan Jepang cara ini dinamakan ‘Partisipatory Management’. Sistem manajemen seperti inilah yang diterapkan dalam manajemen kantor dan industri modern.

Pengaruh Agama Dalam Teori Manajemen

Pada awalnya ilmu manajemen dibahas dan dikembangkan orang di Negeri-negeri Barat, yang sangat didominasi oleh nilai-nilai Gereja pada waktu itu. Tentunya hal itu sesuai dengan pemahaman mereka terhadap manusia. Umpamanya F. Tailor adalah peletak pertama ajaran manajemen modern, dengan system ban berjalan.

Taylor tentu sangat dipengaruhi oleh ajaran Kristen yang dianutnya yang menganggap bahwa manusia itu pada dasarnya dilahirkan dengan membawa dosa dan cenderung akan membuat dosa dan kesalahan. Ia beranggapan bahwa pada dasarnya manusia tidak mau bertanggung jawab. Karena itu perlu diarahkan.

Karena orang itu pada dasarnya pemalas, maka ia perlu dicambuk atau diancam agar rajin bekerja. Ia sangat membutuhkan keamanan di atas segalanya. Teori manajemen yang dihasilkan oleh dasar penilaian Taylor ini ialah, bahwa manusia hanya bisa digalakkan atau dimotivasi untuk rajin bekerja dengan cara membayar gaji yang cukup, disamping memberikan ancaman-ancaman dan hukuman, demi menegakkan disiplin dan peraturan.

Teori yang dibuat oleh Taylor tentang manajemen itu, ketika diterapkan, produksi tidak dapat ditingkatkan, bahkan cenderung menurun sehingga teori manajemen yang berkembang berlawanan dengan teori Taylor.

Manajemen yang berdasarkan teori yang kemudian terkenal dengan teori X ini berakibat memperlakukan manusia secara tidak manusiawi. Lawan dari teori X, melahirkan teori Y yang berdasarkan pada pengandaian bahwa manusia itu suka bekerja. Menurut teori ini, jika keadaan mengijinkan, maka manusia akan mampu mengontrol dirinya sendiri dan mempunyai daya kreatif dalam menyelesaikan masalah kelompoknya. Oleh karena itu, ia mudah dimotivasikan dengan memberikan penghargaan dan pengakuan. Manajemen yang berdasar teori Y ini pun dengan sendirinya dianggap lebih manusiawi dan demokratis. Akhirnya teori X dapat dibantah atau dibatalkan oleh teori Y.

Islam mengatakan, bahwa manusia itu pada dasarnya berpotensi positif. Kecenderungan kepada kebenaran dilukiskan dengan istilah hanief. Istilah itu dapat pula dimaknakan dengan ‘baik dengan sendirinya’, dapat diartikan pula dengan ‘senantiasa memilih yang terbaik untuk dirinya’.

Watak hanif menyebabkan manusia pada dasarnya akan cenderung memilih yang baik dan benar di dalam keseluruhan hidupnya. Sedangkan penilaian terhadap yang baik dan benar itu sangat tergantung pada latar belakang pendidikan dan pengalamannya.

Pendidikan dan latihan yang tepat dan sesuai dengan kebutuhan asasi manusia, sangat menentukan watak dan tingkah laku manusia. Pada setiap diri manusia terkandung rasa tanggung jawab dan rasa harga diri.

Potensi ini jika disentuh oleh didikan Islam akan melahirkan manajer dan manajemen Islami.

€. Mencetak Manajer

Sebuah Perusahaan, pada suatu waktu, menyadari situasi kritis yang terjadi di perusahaan, yaitu kenyataan bahwa mereka mencetak banyak laba, mengembangkan bisnis dan menjadi pemain terpenting di Industrinya, tetapi tidak punya banyak calon penerus, baik di tingkat direksi maupun supervisor.”Pelatihan manajemen tidak pernah terlupakan. Kami juga sudah menjalankan manajemen kinerja dengan baik, tetapi mengapa kita tidak kunjung berhasil meng-‘kloning’ diri kita-kita ini? Berkaca pada pengalaman saya, kami juga dulu tidak dicekoki dengan pengajaran istimewa selagi muda ?”.

Apapun argumentasinya, kita perlu segera menyadari bahwa bila di organisasi kita tidak terdapat cukup banyak suksesor, cepat atau lambat perusahaan akan bermasalah. Pada kenyataannya kita juga melihat bahwa semakin tidak banyaknya calon-calon manajer atau pemimpin, maka organisasi semakin tidak diminati, karena calon karyawan yang sudah bekerja tahu dan sadar tentang tidak adanya prinsip suksesi yang jelas.

Nampaknya, argumentasi “perusahaan kita bukan Universitas tempat belajar” sudah tidak bisa dijalankan pada perusahaan yang ingin menjaga kontinuitas bisnisnya. Bukti menunjukkan bahwa kualitas manusia beserta prinsip dan spirit perusahaan, tidak bisa “dibeli” atau “ditempel” begitu saja dari luar. Mungkin ini juga sebabnya penemu McDonald, Ray Kroc, mengatakan, “If we are going to go anywhere, we’ve got to have talent. And, I’m going to put my money in talent”, ketika membangun “hamburger university”-nya. Mc Donald sejak awal berdirinya sudah menyatakan bahwa mereka ingin menjadi “talent developer” terbaik, agar mempunyai “manpower” yang sepenuhnya berkomitment ke QSC & V(Quality, Service, Cleanliness dan Value).

Turunkan Prinsip Sampai Mendarah daging

Toyota yang sangat terkenal berhasil mencetak manajer yang mumpuni sesuai dengan kebutuhan, sangat percaya bahwa prinsip yang dipegang dalam menjalankan tugas jauh lebih penting daripada segala macam “tools” manajemen dan proses. Prinsip di sini, tidak sebatas yang berbau teknis namun juga dalam proses mencetak suksesor, salah satunya prinsip bahwa coaching perlu dilakukan dengan penuh keyakinan dan obsesi yang kuat. Mungkin ini sebabnya mengapa perusahaan yang “tidak percaya” pada proses coaching akan sulit menerapkan teknik-teknik coaching walaupun teknik ini diajarkan dalam pelatihan, bila pada prinsipnya, keyakinan manajemen memang tidak di situ. Dengan demikian, sebelum mempelajari teknik, prinsiplah yang lebih dahulu dibangun dan diyakini, kemudian perlu turun-temurun diwariskan dalam organisasi yang kuat, karena pengambilan keputusan dan pemecahan masalah akan didasarkan pada “benang merah” yang sudah menjadi landasan keberhasilan perusahaan.

Tajamnya Penginderaan Menghasilkan “Sense of Precision”

Kita tahu bahwa strategi itu penting, tetapi strategi yang tepat hanya bisa dilakukan berdasarkan fakta yang tepat. Seringkali di dunia yang serba instant begini, kita berharap manajer muda kita yang cemerlang secara instant akan mampu membuat strategi yang cemerlang. Hal inilah yang sering membuat kita frustasi karena kita lupa bahwa hal yang yang sangat mendasar, yaitu kemampuan dan cara individu memperoleh fakta, terlewatkan. Bagaimana seseorang menemukan kejanggalan suatu proses, bagaimana ia merasakan bahwa ada sesuatu yang tidak beres, bagaimana ia mencium adanya potensi di situasi tertentu, bagaimana ia melihat “talenta” pada bawahannya, dan juga bagaimana ia meraba “timing” dari suatu tindakan tertentu adalah hal-hal penting yang perlu dikuasai, bila ingin menjadi pengambil keputusan yang handal.

Seorang GM bersikap senang melakukan control langsung dalam menjalankan tugasnya, “There’s no substitute for direct observation”. Dengan keyakinan ini, calon pemimpin bisa didorong dan didampingi untuk banyak-banyak turun ke lapangan, sehingga ia tidak saja pandai menganalisa mengapa gejala tertentu “sudah” terjadi, tetapi justru juga akan mendapatkan nilai tambah lain bila menyaksikan sendiri kesalahan, kegagalan ataupun kesuksesan terjadi. Pendekatan melalui laporan, interview, data, dan statistik nampaknya memang menghasilkan sesuatu yang berbeda dan memberi dampak yang berbeda terhadap kompetensi seorang pemimpin. Bahkan pendekatan yang hanya mengandalkan laporan bisa dikatakan adalah sumber kegagalan tercetaknya pemimpin. Melalui observasi dan “merasakan langsung”, seorang calon pemimpin bisa mengembangkan “sense of precision”-nya yang senantiasa akan diperlukannya dalam memimpin tim.

Obsesi untuk “Menjadikan” Pemimpin

Kita pasti sudah menyadari bahwa hampir semua organisasi berusaha meng”karbit” karyawan-karyawan yang cemerlang untuk dijadikan calon pemimpin perusahaan, misalnya melalui program “management trainee”. Namun demikian, masih saja banyak keluhan mengenai kematangan dan kesiapan para calon ini untuk menjadi pemimpin. Pertanyaannya, apakah kita sudah secara optimal meluangkan waktu untuk melatih mereka secara keseluruhan, mencakup hati, tangan, kepala dan cara komunikasinya ? Kita sadar bahwa pemimpin yang kita idamkan adalah pemimpin yang mampu membuat terobosan dan perbaikan, namun sudahkah kesempatan latihannya dirancang sedemikian rupa sampai ia sempat bereksperimen di lapangan ?

Bisa jadi, selain kurangnya kesempatan bereksperimen, disadari atau tidak, banyak organisasi yang tidak subur menumbuhkan manajer baru, mempunyai kebiasaan “membabat” orang yang berbuat salah.”Ya, pastilah..Kesalahan yang dibuat itu merugikan perusahaan bermilyar-milyar, yang tidak bisa dibayar dengan seumur hidup gajinya,”demikian komentar salah seorang pemimpin perusahaan terhadap kesalahan anak buahnya. Mungkin ada saja pemimpin yang bisa tumbuh di lingkungan yang tidak memperhitungkan pengembangan self esteem para calonnya, tetapi jumlah hasilnya tentu lebih sedikit daripada situasi yang memang dengan “sengaja” dan serius menyediakan kesempatan bagi para calon pemimpin ini untuk bereksperimen. Perubahan memang sering tidak bisa dicoba-coba, padahal seorang yang belajar memang harus banyak memperhatikan dan melakukan “testing” bahkan berbuat kesalahan. Satu-satunya jalan agar seorang calon pemimpin bisa melalui proses belajar yang efektif adalah memberinya tugas yang bertahap dan sudah diperhitungkan resikonya bila kesalahan terjadi. Satu hal yang juga tidak pernah bisa terlewatkan adalah pembahasan mendalam antara atasan atau coach dengan trainee tentang tindakan, kesuksesan dan kegagalannya. Pemimpin yang tumbuh sebagai hasil dari pengajaran memerlukan proses coaching, bukan “fixing”, perlu di “enable’ bukan di “disabled”.


Best Education site:

http://karierup.blogspot.com/